Kamis, 18 Maret 2010

Sekilas Budaya Cirebon

Pengantar

Saudara tapi tak serupa. Itulah ungkapan untuk membedakan suku Cirebon dengan suku Sunda. Begitupun dengan kebudayaan yang dimiliki masing-masing. Tak dipungkiri memang , Cirebon sampai kini secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat. Namun, patut disimak ada beberapa tanda-tanda yang membedakan keduanya. Cirebon memiliki keunikan sendiri. Hal itu dapat dilihat dari perilaku masyarakat asli Cirebon, sumber sejarah dan peninggalan budayanya yang lestari hingga kini.
Sejarah Singkat Cirebon

Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.

Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.

Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih.

Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.

Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.

Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati.

Setelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.

Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.

Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)

Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE.

Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.

Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Slatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka.

Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.

Akar Budaya dan Masyarakat Cirebon

Sosok kebudayaan Cirebon yang berkembang hingga saat ini bukan merupakan cerminan “karya, karsa, dan rasa” (buah pikiran; akal budi) manusia Cirebon itu sendiri, melainkan lebih merupakan pem-bias-an dari kebudayaan asing (Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dll.). Hal itu pun kemudian diamini oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang dengan segenap ketegasannya mengatakan bahwa budaya Cirebon tidak memiliki identitas yang jelas.

Dalam perspektif kebudayaan, diakui atau tidak, Cirebon sesungguhnya merupakan sebuah fenomena menarik yang banyak menyedot perhatian berbagai kalangan. Cirebon ternyata tidak hanya diperbincangkan, tetapi juga memperbincangkan dirinya. Bagai sebuah misteri, pada saat-saat peristiwa budaya berlangsung, Cirebon menjadi pusat perhatian, dari yang hanya sekadar ingin tahu sampai yang melakukan berbagai penelitian. Sehingga — menurut istilah Arthur S. Nalan — dewasa ini Cirebon telah menjadi sebuah wilayah yang sudah lidig (tanah yang penuh dengan jejak kaki). Hal itu secara eksplisit memberi petunjuk pada kita bahwa sosok daerah itu memiliki daya tarik tersendiri, terutama yang menunjuk pada relasinya dengan tipikal seni budayanya yang unik.

Terbentuknya unikum budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya
hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor geografis dan historis. Dalam konteks ini, sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian itu, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Cirebon menjadi daerah melting pot, tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.

Menurut Pustaka Jawadwipa, pada tahun 1447 M, kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah sekira 346 orang yang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan Cina. Sebagai konsekuensi logis dari realitas masyarakat yang sedemikian plural, proses akulturasi budaya dan sinkrentisme menjadi sebuah keniscayaan yang tak terlekan.

Suatu hal yang menarik dalam konteks sosial masyarakat penghuni wilayah yang sebelumnya dikenal dukuh Kebon Pesisir itu, secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain, saling melengkapi. Secara kasat mata, kita dapat melihat dan menyimak bagaimana pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat — di samping tetap adanya budaya leluhur (primadona) — menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas. Bermula dari situ pulalah, konstruksi budaya Cirebon dibangun. Sentuhan-sentuhan genetika budaya primordial yang beragam, secara demografis memainkan peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan karakteristik, dan sekaligus melahirkan budaya yang cenderung hibrid.

Demikianlah realitas budaya Cirebon. Identitas yang hibrid itu kemudian diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukan, hingga bangunan-bangunan ibadah (Setiadi Sopandi), Kompas 16/3/03). Namun, serapan-serapan budaya sering kali tidak hanya berbentuk seni, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari yang sifatnya sangat mendasar, seperti pada sistem kepercayaan masyarakatnya.

Secara simbolik hibriditas kebudayaan Cirebon tampak pada bentuk ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah. Hal tersebut menyiratkan makna yang sangat mendalam bahwa konstruksi kebudayaan Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).

Inilah realitas yang tak terbantahkan, Paksi Nagaliman adalah simbol identitas budaya Caruban. Kata caruban itu sendiri yang mengandung makna campuran, kelak kemudian menjadi cikal bakal nama daerah yang didirikan oleh putra sulung Prabu Siliwangi, Walangsungsang. Dari kata Caruban itu kemudian berubah ucapan menjadi Carbon, Cerbon, Crebon dan akhirnya Cirebon sampai sekarang.

Kecenderungan kultural yang hibrid itu, seperti telah disinggung di atas, tampak pada berbagai jenis kesenian tradisional. Sebut saja Topeng Cirebon misalnya, terutama dalam unsur-unsur visualnya adalah pengaruh budaya Cina. Dalam hal ini Saini KM mengungkapkan, betapa miripnya hiasan kepala (tekes, siger) dan topeng (kedok) yang dikenakan oleh tokoh-tokoh Topeng Cirebon dengan tokoh-tokoh Opera Peking.

Memang, pengaruh budaya Cina begitu kuat mewarnai bentuk-bentuk kesenian milik masyarakat Cirebon. Simak saja batik Trusmi dan lukisan kaca, ornamentasi kedua bentuk karya seni rumpun seni rupa itu (mega mendung dan wadasan) hasil adopsi dari motif-motif lukisan Cina. Juga seni helaran Berokan mirip
benar dengan seni pertunjukan Barongsay. Harus diakui pula, dalam sistem kepercayaan masyarakatnya sekalipun atas kehebatannya Sunan Gunung Jati yang telah menjadikan Islam sebagai basis religi, tetapi apabila kita cermati lebih seksama, reduksi arkais budaya asli dan Hindu bercampur menjadi bagian folkways (tradisi, adat kebiasaan) wong Cerbon.

Hal-hal semacam itu perwujudannya dapat kita lihat pada berbagai peristiwa keadatan, seperti dalam upacara adat Ngunjung, Nadran, Bancakan, Mapag Sri, Bubarikan, Mider tanah/Sedekah Bumi, dll. Tradisi yang sampai saat ini dipertahankan dan dijalani oleh pewarisnya di berbagai wilayah budaya Cirebon, secara sadar atau tidak mampu memunculkan pemandangan yang eksotik, di mana aura sinkretisme begitu kental tampak dalam prosesi ritual tersebut.

Fenomena lain yang turut mempertegas hibriditas budaya Cirebon adalah bahaya, di mana dalam sistem komunikasi masyarakatnya, bahasa Cirebon merupakan campur aduk antara bahasa Sunda dan Jawa. Tentu saja hal ini terjadi lebih merupakan sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang secara geografis berada pada wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila masyarakat dan kebudayaan Cirebon kemudian menempatkan diri dalam posisi ambivalen. Seperti diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Faruk, di satu pihak Cirebon dapat disebut sebagai daerah yang paling rendah tingkat aksesnya ke dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akan tetapi, di lain pihak, ia bisa pula dianggap sebagai suatu wilayah yang paling bebas dari kontrol kedua pusat di atas.

Dari kecenderungan yang disebut terakhir, masyarakat Cirebon relatif tidak memiliki beban kultural untuk menerima hal-hal baru, yang asing sekalipun. Lalu mereka adaptasi menurut kebutuhan mereka sendiri. Bahasa Cirebon tidak alergi terhadap ekspresi Sunda dan begitu sebaliknya. Jangan heran jika orang Cirebon dapat berkomunikasi ya Nyunda ya Njawa.

Kelincahan imajinatif dalam memainkan berbagai kekuatan kultural dari luar adalah sisi lain dari kelebihan masyarakat Cirebon dalam mengekspresikan emosional estetisnya. Proses kreatif imajinatif seperti itu akhirnya kemudian berimplikasi pada terbentuknya local colur dan sekaligus local genius budaya Cirebon. Tarling, topeng Cirebon, dan lukisan kaca adalah contoh yang paling nyata dari kecenderungan demikian. Ketiganya merupakan bentuk presentasi artistik adaptif dari berbagai kekuatan kultural tersebut di atas. Yang paling penting adalah tiga dari sekian banyak genre kesenian tradisional khas Cirebon itu, hingga saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dan bahkan telah menjadi aset nasional.

Pusat Pemerintahan Adat

Keraton Kacirebonan

Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.

Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.

Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.

Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir.

Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.

Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.

Keraton Kasepuhan

Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.

Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.

Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.

Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.


Keraton Kanoman

Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.

Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.

Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.

Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.

Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.

Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.

Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.

Bahasa

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat suku Cirebon menggunakan Bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantar. Bahasa tersebut berbeda dengan Bahasa Jawa maupun Sunda.
Upacara Adat

Syawalan Gunung Jati

Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon umumnya melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu juga untuk melakukan tahlilan

Ganti Welit

Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi. Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.

Rajaban
Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di obyek wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.

Ganti Sirap

Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.

Muludan
Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Yaitu kegiatan membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan dilaksanakan di Keraton.

Salawean Trusmi

Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Di samping itu juga dilaksanakan tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud.

N a d r a n

Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan oleh nelayan dengan tujuan untuk keselamatan dan upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan bervariasi.

Tempat bersejarah dan keramat

Makam Sunan Gunung Jati

Dihiasi dengan keramik buatan Cina jaman Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon.

T r u s m i

Sentra batik tradisional Cirebon yang memiliki motif khas Cirebonan. Terletak 9 Km dari Ibukota Cirebon ke arah utara (di desa Trusmi, Kecamatan Weru). Di samping itu terdapat juga makam Ki Buyut Trusmi yaitu salah seorang tokoh penyebar Agama Islam di Wilayah Cirebon.

Makam Nyi Mas Gandasari

Salah seorang murid Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran Agama Islam, terkenal dengan kemampuan ilmunya yang tiada tanding. Terletak di desa Pangurangan Kecamatan Panguragan atau 27 Km dari Ibukota Sumber.

Makam Syekh Magelung Sakti

Merupakan salah satu seorang pendekar yang dapat mengalahkan Nyi Mas Gandasari dan disegani karena disamping sebagai salah seorang pendekar juga, beliau juga dikenal sebagai seorang yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam ditanah Cirebon. Makam beliau terletak di desa Karang Kendal Kecamatan Kapetakan, 21 Km dari Ibukota Sumber.

Makam Talun

Disini tempat dimakamkannya Mbah Kuwu Cirebon yaitu salah seorang pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon. Disamping sebagai tokoh masyarakat, beliau juga sangat disegani dalam ilmu pengetahuannya. Sehingga sampai saat ini masih banyak diziarahi oleh masyarakat Cirebon. Terletak di desa Cirebon Girang Kecamatan Cirebon Selatan 5 Km dari pusat Ibukota Sumber.

B e l a w a

Lokasinya berjarak kira-kira 25 km dari kota Sumber ke arah timur. Obyek wisata ini memiliki daya tarik dari kura-kura yang mempunyai ciri khusus di punggung dengan nama latin “Aquatic Tortose Ortilia norneensis.”
Menyimpan legenda menarik tentang keberadaannya di desa belawa kecamatan sedong,. Menurut penelitian merupakan spesies kura-kura yang langka dan patut di lindungi keberadaannya. Obyek wisata ini di rencanakan untuk di kembangkan menjadi kawasan yang lebih lengkap Taman kura-kura (Turtle park) atau taman reptilia.Sektor suasta dapat bekerjasama dengan pemerinta kabupaten untuk pengelolaan taman kura-kura tersebut.

Situ Sedong

Terletak di desa Sedong sekitar 26 km dari arah pusat Ibukota Sumber, dengan luas lahan 62,5 Ha. Selain mempunyai panorama yang indah,situ ini juga di sebut pula Situ pengasingan yang merupakan tempat rekreasi air dan pemancingan.

Banyu Panas Palimanan

Obyek wisata ini terletak di desa Palimanan Barat kecamatan Palimanan sekitar 16 km dari Cirebon ke arah Bandung. Obyek wisata ini merupakan pemandian air panas dengan kadar belerang yang di percaya dapat menyebuhkan penyakit kulit. Pemandian air panas ini ada di sekitar bukit Gunung Kapur Gunung Kromong yang mempunyai keistimewaan mata air selalu berpindah pindah. pihak investor di undang untuk mengembangkan lokasi ini untuk di jadikan wisata spa.

Pangeran Kejaksan dan Pangeran Panjunan

Puncak acaranya biasa di masa ziarah Plangon tgl 2 syawal, 11 Dzulhijjah dan 27 Rajab.Untuk pengembangan wisata ini meliputi lahan sekitar 10 Ha, dan status tanah ini milik Kesultanan. Kapasitas pengunjung rata-rata sekitar 58.000 pengunjung/tahun. Obyek ini cukup mempunyai prospek untuk di kembangkan , peluang terbuka untuk pengelola lokasi wisata dan wisata dan bangunan makam.

Cikalahang

Kawasan Cikalahang merupakan kawasan yang baru berkembang dengan daya dukung alam. sasaran wisatawan pada awalnya adalah obyek wisata Telaga Remis yang di kelola oleh perum perhutani KPH Kuningan dan berada di wilayah Kuningan. Hingga saat ini kawasan Telaga Remis masih menarik wisatawan yang dapat di andalkan dari segi income.
Karya Seni

Batik Trusmi

Tidak hanya di Yogyakarta, dan Solo saja, Cirebon juga terkenal dengan batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di desa Trusmi dalam warisan turun temurun. Sesuai dengan ciri khasnya, maka batik Trusmi juga mempunyai motif yang berbeda, yaitu kecil-kecil dan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Sedangkan pola batik yang digunakan mempunyai istilah Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum.

Batik yang mempunyai gaya Keraton (klasik), Kenduruan (batik Cina), dan Trusmi ini. Menggunakan pula berbagai macam kain sebagai media dasarnya, seperti katun Pekalongan, kain Paris, sutera Indonesia (mendekati sutera asli), sutera, dan alat tenun bukan mesin. Sama seperti pembuatan batik lainnya, proses yang digunakan ada yang tulis, cetak, dan printing.

Namun sayangnya, pengelolaan batik ini masih menggunakan manajemen tradisional dan kekeluargaan. Sehingga kualitas dan sistem pengelolannya masih kalah dengan Batik Yogya ataupun Solo yang lebih berkembang dan dikenal hingga ke mancanegara.
Makanan dan Minuman Khas Cirebon

Nasi Jamblang :
Nasi jamblang adalah nasi yang di bungkus daun jati dengan lauk pauk yang bermacam-macam seperti paru, pusu, daging, tempe, tahu disertai dengan sambel khas cirebon dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Nasi Lengko :
Nasi putih yang dipadukan dengan tempe, tahu, mentimun toge dan daun kucai yang ditaburi bawang goreng dan kecap dan bumbu kacang dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Empal Gentong :
Makanan berkuah yang bersantan di padukan dengan daging. Dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon. Kebanyakan pedagang empal gentong berasal dari Desa Battembat

Tahu Gejrot ;
Tahu yang dipotong potong di tempatkan pada piring kecil terbuat dari tanah merah dengn bumbu gula merah dan bawang merah dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Bubur Sop :
Bubur yang berisi kol, daun bawang dan tauco disertai kuah sop yang ditarubi ayam suwir sama kerupuk. dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Sate Kalong :
Sate yang berjualannya menjelang magribdan satenya dari daging kerbau

Docang :
Lontong yang dipadukan daun singkong, toge, taburan kelapa parut dan kerupuk ditaburi dengan kuah terbuat dari dage/bumbu oncom

Mie Koclok :
Mie yang berisi toge, kol, dipadukan telor ayam dengan bumbu kuah santan

Kerupuk Udang :
Kerupuk khas goreng yang terbuat dengan racikan udang dan ikan dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Kerupuk Melarat :
Kerupuk yang berwarna warni terbuat dari aci yang proses penggorengan dengan menggunakan pasir, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Kerupuk Lambak:
Kerupuk yang berwarna coklat kehitaman (warna kulit) terbuat dari kulit kerbau pilihan, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Terasi Udang :
Terasi yang terbuat dari udang rebon sebagai bahan membuat sambal yang rasanya enak sekali.

Minuman Khas Cirebon

Tjanpolay :
Sejenis minuman dari sirup yang terkenal dari jaman dulu dapat diperoleh di berbagai tempat kota cirebon

Teh Poci :
Teh yang disuguhkan sejenis teko yang terbuat dari tanah liat (Poci) dan enak diminum pada malam hari dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Sumber :http://bachtiarhakim.wordpress.com/2009/08/16/sekilas-budaya-cirebon/

Menikmati Wisata Budaya Di Kota Cirebon

keratonkanomancirebon

Keraton Kanoman Cirebon.
Cirebon - Kota yang terletak di dekat perbatasan Jawa Tengah ini memiliki beberapa obyek wisata yang menarik untuk dilihat, khususnya peninggalan-peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam yang dilakukan oleh salah satu tokoh Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Sebut saja misalnya empat keraton yang hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon yang memiliki arsitektur gabungan dari berbagai elemen kebudayaan termasuk Islam dan unsur-unsur arsitektur Belanda.

Ada pula situs peninggalan sejarah kejayaan Islam masa lampau, Tamansari Gua Sunyaragi atau Gua Sunyaragi, yang merupakan sebuah kompleks bangunan yang menempati areal seluas 1,5 ha. Tempat ini dulu merupakan tempat peristirahatan, tempat menyepi, bertapa dan merupakan tempat rekreasi bagi Sultan Kasepuhan dan kerabatnya.

Kota Cirebon juga menjadi salah satu kota pelabuhan terpenting di pantai utara Jawa setelah

Jakarta dan Semarang. Disini akan dijumpai pelabuhan Cirebon Pelabuhan yang memiliki peran strategis dalam hal perdagangan sejak masa Sunan Gunung Djati masih berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang niaga dari dan ke luar negara, pernah meramaikan pelabuhan ini. Pemandangan itu pun masih kita temui hingga saat ini. Bila kita berjalan-jalan di sore hari, maka akan kita saksikan puluhan kapal-kapal besar tengah bersandar di dermaga.

Selain itu Cirebon telah lama dikenal sebagai pusat penghasil kain batik, terutama Batik Trusmi. Dan kota ini juga terkenal dengan kesenian tari topeng dan musik tarling yang menggabungkan suara gitar, suling dan suara manusia dalam perpaduan yang harmonis.

Cara Mencapai Daerah ini :

Anda dapat mencapai daerah ini dengan menggunakan bus, kereta api maupun kendaraan pribadi.

Tempat Menginap :

Di Cirebon banyak terdapat tempat penginapan mulai dari hotel non bintang hingga hotel berbintang dengan beragam fasilitas dan variasi tarif yang dapat Anda pilih sesuai dengan kebutuhan Anda.

Tempat Bersantap

Jika Anda datang ke Cirebon, jangan lupa untuk mencicipi kelezatan Nasi Jamblang yaitu nasi putih yang penyajiannya dibungkus dengan daun jati sehingga membuat nasi putih itu terasa berbeda. Apalagi bila dibungkus dalam keadaan hangat. Nasi Jamblang dapat disantap dengan beraneka ragam lauk pauk.Lokasi tenda nasi jamblang paling top berada di depan, Grage Mal, ujung jalan raya Tentara Pelajar. Selain Nasi Jamblang, masih ada Empal Gentong dan Nasi Lengko, yaitu nasi yang disajikan dengan campuran lauk, seperti rebusan toge, tahu, tempe goreng yang disiram dengan halusan bumbu kacang.

Yang Dapat Anda Lihat atau Lakukan :

• Berziarah ke makan Sunan Gunung Jati

• Memancing di tepi Pelabuhan Cirebon

• Menyaksikan kesenian tari topeng dan musik tarling

• Menyaksikan acara budaya seperti Grebeg Maulud yang diadakan setiap tahunnya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.

• Mengunjungi keraton-keraton di Cirebon

Buah Tangan

Sejak dulu Cirebon terkenal dengan sebutan Kota Udang, maka dari itu kurang lengkap rasanya apabila Anda tidak membeli oleh-oleh makanan khas yang terbuat dari udang seperti kerupuk udang, terasi, kecap sampai abon yang terbuat dari udang maupun ikan asin dan lain-lain. Jika Anda mengincar batik Cirebon sebagai oleh-oleh Anda, maka Anda bisa mengunjungi Desa Trusmi, sekitar 5 kilometer dari kota Cirebon. Anda juga bisa berburu kerajinan tangan seperti topeng khas Cirebon

Tips

• Udara di Cirebon hampir sama dengan kota pelabuhan lainnya di Indonesia, untuk itu lengkapi diri Anda dengan topi, kacamata dan payung.

• Kenakanlah pakaian yang nyaman untuk digunakan dan menyerap keringat

Sumber :http://erabaru.net/wisata/64-pariwisata/3629-menikmati-wisata-budaya-di-kota-cirebon

Filosofi Topeng Cirebon

E-mail Cetak PDF
Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)?

Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status "pegawai" oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan "gaji" yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.

Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai "gaya" Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati "aslinya". Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.

Di Zaman Mana?

Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.

Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.

Mengandung Semua Sifat Ciptaan

Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni "Pamindo-Rumyang", dan "Patih-Klana". Inilah sebabnya kedok "Pamindo-Rumyang" berwarna cerah, sedangkan "Patih-Klana" berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari "Pamindo-Rumyang" halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak "dalam" (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak "luar". Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana "penciptaan" terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.

Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Sumber :http://fahmina.or.id/kecirebonan/makanan-dan-minuman-khas/237-filosofi-topeng-cirebon.html

SUNAN GUNUNG JATI

DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.

Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,'' Yusuf, 36 tahun, menambahkan.

Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.

Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.

Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.

Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.

Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.

''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.

Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulis pertengahan abad ke-20.

Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.

Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.

Sumber :http://martapura.hexat.com/wali/sunangunungjati

Mengunjungi Makam Sunan Gunung Jati

Dalam perjalanan kali ini saya akan mengajak Anda menjelajahi Kota Cirebon. Kota yang berada diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah ini memiliki beberapa objek wisata yang cukup menarik, antara lain Makam Sunan Gunung Jati dan galeri kerajinan tangan khas Cirebon.

Sebelum berjalan-jalan mengelilingi Kota Cirebon, tidak ada salahnya kalau kita melihat sejarah masa lalu kota ini. Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15 dan 16 Masehi, Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Akibatnya, Cirebon menjadi "Jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda, sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas. Bukan Jawa dan bukan pula Sunda.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar. Cirebon pun pernah menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa untuk kegiatan pelayaran dan perdagangan, baik di Kepulauan Nusantara maupun bagian dunia lainnya.

Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, disebutkan bahwa pendiri Kota Cirebon adalah Raden Walangsungsang, putra dari Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subalarang. Namun sumber lain menyebutkan bahwa Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah pada awal abad ke-16 dan berkembang menjadi kesultanan yang paling disegani di Pulau Jawa dan sekitarnya. Sampai akhirnya Kasultanan Cirebon terpecah menjadi tiga, sepeninggal Sunan Gunung Jati.

Dalam perjalanan Kota Cerebon, saya pun mengunjungi makam Sunan Gunung Jati. Makam keramat ini menjadi salah satu objek wisata ziarah yang kerap dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Wisata ziarah merupakan salah satu bentuk wisata yang tidak sekadar mencari kesenangan seperti perjalanan wisata lainnya.

Makam Sunan Gunung Jati terletak di Desa Astana Kecamatan Cirebon. Lokasinya berada sekitar 6 km ke arah utara Kota Cirebon. Luas areal objek wisata Makam Sunan Gunung Jati kurang lebih 20 hektar. Di dalamnya terdapat ratusan makam keturunan Sunan Gunung Jati. Letak Makam sang Sunan berada diatas bukit. Untuk mencapainya kita harus menaiki ratusan anak tangga. Setiap wisatawan yang ingin melihat makam Sunan Gunung Jati, diharuskan melepas alas kaki.

Saya tak sabar untuk segera sampai di makam tersebut. Tak sampai 15 menit, saya sudah sampai di anak tangga teratas. Disana terdapat pintu gerbang besar berwarna cokelat. Nah, dibalik pintu itulah makam Sunan Gunung Jati berada. Tidak sembarangan orang dapat masuk ke dalamnya, kecuali para Sultan Cirebon. Pengunjung hanya diperbolehkan sampai di depan pintu.

Nah, yang unik dari makam Sunan Gunung Jati ini dikelilingi tembok berporselen dari China. Baru pertama kali saya melihat ada makan yang dikekilingi tembok berhias keramik itu. Satu per satu saya memperhatikan keramik-keramik tersebut. Konon keramik-keramik itu sengaja ditempel untuk menghormati salah satu isteri Sunan Gunung Jati yang berasal dari China. Menurut penjaga makam, keramik tersebut asli dari China dan usianya ratusan tahun.

Melihat keunikan tembok Makam Sunan Gunung Jati yang berkeramik itu, wajar kalau pengunjung yang datang bukan semata berdoa atau berziarah. Melainkan juga menikmati kekhasan temboknya.

Sumber :http://cyberwoman.cbn.net.id/cbprtl/cybertravel/detail.aspx?x=Time+Traveller&y=cybertravel|3|0|3|2537

Tiga Keraton Cirebon, Sebuah Porselen Retak

Pengantar:

Libur Lebaran lumayan panjang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu selama itu untuk berdiam diri di rumah, kami pun merencanakan perjalanan ke salah satu kota di pulau Jawa. Cirebon, itu pilihan kami. Kota ini menjadi kota transit bagi para pemudik yang ingin bersilaturahmi ke kampung halaman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, bukan itu alasan kami memilih kota ini sebagai tujuan perjalanan. Kota yang terletak di jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan-peninggalan fisik sejarah masa lalu.
Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon—atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Ini bisa dilihat dari oleh-oleh khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.
Pengalaman perjalanan tim ”SH”—yang terdiri dari Bayu Dwi Mardana, Desman, Ida Rosdalina, Job Palar—ke kota rebon ini terangkum dalam tiga halaman berikut.

CIREBON — Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok karena tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton Kanoman pada tahun 1803.

Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.
Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di negeri ini.
Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa sesungguhnya” tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.
Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu ”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.
Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.
Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan ”para pemberontak”.
Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.
Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini sehingga kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.
Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi perjuangan yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka. Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain, Kasepuhan dan Kanoman.

Suram
Gengsi yang hilang ini pun berbekas sampai saat ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah ”diambil-alih” oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir.
Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan.
Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.

Kasepuhan
Kelusuhan yang tampak di Keraton Kacirebonan barangkali memang merupakan konsekuensi sejarah. Namun, kesuraman itu tak tampak di Keraton Kasepuhan. Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Keraton Kasepuhan yang dibangun sekitar tahun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Keraton Kasepuhan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan begitu indah. Masjid Agung itu berdiri pada tahun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Pada tahun 1942, kereta ini tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah. Syarief Hidayattulah dikenal juga dengan Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.

Kanoman
Keraton Kanoman memang berumur lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata ”anom” yang bermakna ”muda”. Terbelahnya kekuasaan Keraton di Cirebon berawal dari sebuah kisah nan unik namun tanpa darah.
Pada tahun 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah untuk datang ke Mataram di samping untuk menghormatinya juga mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram. Disertai oleh kedua orang putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, ia memenuhi undangan tersebut.
Namun, setelah upacara penghormatan selesai, mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, melainkan harus tetap tinggal di Ibu Kota Mataram dan diberi tempat kediaman yang layak serta tetap diakui sebagai penguasa Cirebon.
Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Ibu Kota Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram antara tahun 1662-1667. Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran Cirebon dapat pergi dari Mataram dan kembali ke Cirebon melalui Banten.
Tatkala Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua Pangeran itu sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah serta rakyat masing-masing.
Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal.
Keraton Kanoman menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan bernama Paksi Naga Liman. Satu hal yang begitu membuat hati miris, kompleks keraton telah tertutup oleh pasar rakyat yang sebetulnya menjadi bagian dari keraton itu sendiri.

Keramik Cina
Alkisah, seorang raja Cina mengundang Sunan Gunung Jati alias Syech Syarief Hidayatullah datang untuk menguji kesaktian san sunan. Oleh raja, Sunan diminta untuk menebak apakah anaknya Tan Hong Tien Nio yang populer dengan sebutan Putri Ong Tien hamil atau tidak. Sunan menebak sang putri hamil, padahal perut sang putir sengaja diisi tempat beras agar kelihatan hamil.
Sunan Gunung Jati ditertawakan oleh para pembesar raja. Namun, ternyata sang putri benar-benar hamil.
Untuk menghindari malu, Putri Ong Tien pun dikawinkan oleh raja dengan Sunan Gunung Jati. Rombongan besar pengantin datang dari Cina ke Cirebon dengan membawa keramik, porselen, piring, dan barang-barang khas Cina lainnya.
Kisah ini tak jelas kebenarannya. Yang jelas, kisah ini menuturkan persentuhan budaya antara Islam dan Cina. Makam Putri Ong Tien pun bisa dijumpai di sisi makam Sunan Gunung Jati.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal Cina.
Sekali lagi sayang, tangan-tangan jahil mencopoti porselen-porselen yang menghiasi dinding-dinding di setiap bangunan bersejarah.

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/1201/wis02.html

Masa Lalu Cirebon Sebuah Distinasi

Masa Lalu Cirebon Sebuah Distinasi

Justito Adiprasetio
SUHU panas dan udara lembab khas kota pantai tidak menyurutkan semangat ribuan orang yang memanjatkan doa, berdzikir dan bersalawat di kompleks permakaman Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.

Lokasi wisata ziarah di Nusantara ini memang beragam dan menawarkan petualangan spiritual yang tak kalah pentingnya dengan petualangan eksotisme alam. Dan karisma Sunan Gunung Jati ini terbilang mendalam. Tidak kurang setiap harinya ribuan orang berziarah ke makamnya yang sudah berusia enam abad itu.

Para peziarah yang datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa percaya bahwa ruh Sunan Gunung Jati dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan dan memberikan berkah.

Memasuki kompleks permakaman yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Cirebon, berdiri tegak Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak. Konon Balemangu Majapahit itu adalah hadiah dari Kerajaan Demak saat perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.

Selain Balemangu Majapahit, kita akan melihat Balemangu Padjadjaran yang terletak lebih ke dalam, hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai penghargaan saat Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati. Hal ini menjadi cikal bakal Kekeratonan di Cirebon.

Kompleks permakaman Sunan Gunung Jati memiliki dinding yang berlapis dan tidak sembarang orang dapat memiliki akses masuk. Untuk dapat memasuki makam ini membutuhkan akses 9 pintu, yang terdiri dari Pintu Gapura, Pintu Krapyak, Pintu Pasujuduan, Pinti Ratnakomala, Pinti Jinem, Pintu Rararoga, Pinti Kaca, Pinti Bacem dan Pintu Teratai.

Empat pintu terakhir hanya boleh dimasuki oleh keluarga Keraton yang merupakan keturunan asli Sunan Gunung Jati dan juru kunci yang menjadi petugas harian untuk merawat dan membersihkan makam. Sedangkan para pengunjung yang hendak berziarah hanya diperkenankan masuk hingga ke pintu kelima saja.

Di sepanjang tembok makam tertanam keramik berbentuk piring yang walaupun telah berusia ratusan tahun, warnanya belum pudar. Bahkan sebagian masih bertahan dengan warna biru yang cemerlang.

Keramik yang menempel di tembok bangunan makam tersebut dikisahkan dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Tiongkok, yaitu Putri Ong Tien.

Uniknya di salah satu bagian kompleks permakaman tepatnya di bagian barat serambi muka, terdapat kompleks makam warga Tionghoa dengan pintu utama yang diberi nama Pintu Mergu. Lokasi yang berbeda ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi warga Tionghoa yang memiliki ritual ziarah tersendiri agar tidak terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam yang lain.

Tidak jauh dari kompleks permakaman terdapat Masjid Sang Saka Ratu (Dok Jumeneng) yang pada masa lalu digunakan oleh Orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Djati. Dahulu Pemerintahan Sunan Gunung Jati di Keraton Pakungwati pernah menangkap kapal yang berasal dari Kalingga (Keling).

Kapal yang berawak 108 orang tersebut terdampar dan mereka memilih untuk menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menjaga daerah sekitar permakaman.

Konon jumlah awak kapal tersebut adalah riwayat di balik jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati yang seluruhnya berjumlah 108 orang.

Selain kompleks permakaman, Sunan Gunung Jati juga meninggalkan warisan berharga yang hingga kini masih berdiri tegak, yaitu keraton. Terdapat empat keraton di Cirebon yaitu Kanoman, Kasepuhan, Keprabonan dan Kaceribonan.

Sejak 1677 Kesultanan Cirebon membagi wilayah kepada tiga orang yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan dan menjadikan babak baru terpecahnya Keraton Cirebon menjadi tiga bagian yaitu Kesultanan Kanoman, Kasepuhan dan Kerpabonan sedangkan Kacirebonan baru muncul belakangan setelah pecah dari Kesultanan Kanoman.

Keraton Kanoman
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak tersembunyi di balik keramaian pasar. Untuk mencapai ke sana kendaraan harus membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.

Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Ternyata keraton Kanoman adalah kompleks yang sangat luas, terdiri dari 27 bangunan kuno. Salah satunya adalah Bangsal Witana.

Di bangsal ini dua anak raja Padjadjaran, Prabu Siliwangi Ratu Mas Rarasantang dan Pangeran Cakra Buwana belajar agama Islam. Ratu Mas Rarasantang ini melahirlan Sunan Gunung Jati.

Tak jauh dari Bangsal Witana terdapat Museum yang di dalamnya terdapat Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik. Sebagian barang - barang yang digunakan sang Sunan juga masih bisa dijumpai, seperti dua kereta Paksi Naga Liman dan Jempana.

Keraton Kasepuhan
Sekitar 1 kilometer dari Keraton Kanoman terdapat Keraton Kasepuhan. Walaupun tidak terlalu besar, bangunan ini merupakan istana tertua dan yang paling terjaga keasliannya di Cirebon. Keraton ini memiliki gaya arsitektur perpaduan antara Sunda, Jawa, Islam, China dan Belanda.

Saat memasukinya, kita akan melihat paviliun yang dindingnya dihiasi ubin berwarna putih dan biru, lantai dari marmer serta langit-langit ruangan tersebut dihiasi beberapa lampu antik dari Prancis.

Keraton Kasepuhan juga memiliki koleksi antik berupa wayang golek, keris, meriam, mebel dan berbagai macam senjata api buatan Portugis dan kostum kerajaan, berbagai benda dari penjuru Asia juga ada di sini. Mirip dengan Paksi Naga Liman, Keraton Kasepuhan juga memiliki koleksi kereta yaitu kereta Singa Barong, kereta perang kerajaan peninggalan abad ke-17 yang memiliki suspensi modern.

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/mediatravelista/index.php/read/2010/03/07/421/2/Masa-Lalu-Cirebon-Sebuah-Distinasi-